Ilustrasi. wahyualkautsar.blogspot.com |
***
Manusia. Ia adalah sebuah frasa untuk menggambarkan Kemahabesaran-Nya. Ia adalah entitas nyata yang menjelaskan betapa agung ciptaan Sang Pencipta.
Ia diciptakan dengan status makhluk untuk menyembah Sang Khalik. Ia ada untuk tujuan penghambaan kepada Sang Malik.
Ia disebutkan sebagai nama surat dalam Al-Qur’an Al-Karim. Namun, surat itu tidak membicarakan manusia. Melainkan, membicarakan Sang Pemilik Manusia.
“Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia, Raja manusia, Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.”” (QS. An-Nas [114] : 1-6)
Lihatlah, betapa mulianya Allah!
Betapa rendahnya manusia!
Namun, dalam dimensi kerendahan derajat manusia Allah menciptakan manusia untuk menjalankan dua peran besar, yaitu sebagai ‘abdullah dankhalifatullah. Hewan-hewan ditundukkan untuk manusia. Tumbuhan-tumbuhan ditundukkan untuk manusia. Air, api, dan tanah di bumi ditundukkan untuk manusia. Bahkan, putaran bumi ini tidak lain hanyalah untuk kepentingan manusia. Untuk apa? Untuk mendukung peran-peran yang dijalankan manusia.
Untuk apa?
Agar tidak ada lagi alasan baginya untuk menghindar di hari penghakiman. Yaitu, hari ketika manusia-manusia dikumpulkan, pertanyaan-pertanyaan dilontarkan, pintu neraka dibuka selebar-lebarnya, dan pintu taubat ditutup serapat-rapatnya. Ketika itu, manusia hanya bisa berteriak, menyesal, dan mengaduh. Meminta untuk dikembalikan ke dunia untuk meralat perkataannya dan merevisi perbuatannya. Tapi apa daya, semua sudah sangat terlambat. Ia hanya mampu menangis sejadi-jadinya…
“Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya. Pada hari itu ada wajah yang berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan pada hari itu ada (pula) wajah-wajah yang tertutup debu (suram), tertutup oleh kegelapan (ditimpa kehinaan dan kesusahan). Mereka itulah orang-orang kafir yang durhaka.” (QS. ‘Abasa [80] : 33-42)
Itulah sedikit gambaran mengenai hari penghakiman. Untuk menghindari penyesalan yang tak berguna, sungguh baik apabila seorang manusia mengingat-ingat rekam jejak amalnya selama ini. Hendaklah ia mulai merenungkan, akan dibawa ke mana-kah ia oleh amalnya kelak?
Sudahkah ia, sebagai ‘abdullah, menjalankan peran ibadahnya?
Sudahkah ia, sebagai khalifatullah menjalankan peran sosialnya?
Jika belum, hendaklah ia bertanya kepada dirinya. Apa yang salah dari diri ini?
Teringat sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia.” (HR. Tirmidzi)
Pada akhirnya, jalan terbaik adalah mengintrospeksi diri (muhasabah). Karena, dengan berintrospeksi seorang manusia menjadi sadar tentang kelemahan dirinya. Ia akan terus bertawakkal, berserah diri kepada Yang Maha Perkasa. Ia menjadi tahu dan paham ke mana seharusnya ia mengadu ketika jutaan manusia membatu dan membisu. Karena, ia sadar bahwa ia hanyalah hamba yang lemah lagi lalai.
______________________________
Tentang Penulis
Salman Al-Farisi adalah seorang penulis dan kontributor Dakwatuna. Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Pendidikan menengahnya diselesaikan di SMP IT dan SMA IT Al-Kahfi Bogor. Saat ini sedang menuntut ilmu di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Aktivis dakwah kampus.
0 komentar:
Post a Comment