Sumber ilustrasi:
http://www.massompongang.com/
|
Pak
Haji Syafrudin pun hanya mendengarkanya dengan saksama. Setelah masalah sudah selesai diceritakan, Pak Haji pun
mengambil segenggam garam dan segelas air, kemudian ditaburkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan.
“Coba minum ini, dan katakan bagaimana
rasanya!” ujar Pak
Haji Syafrudin yang bijak.
“Pahit, pahit sekali.” jawab Andi sambil meludah ke samping.
Pak
Haji hanya tersenyum kecil, lalu Pak Haji mengajak Andi ke telaga yang
terletak tidak begitu jauh dengan rumahnya sambil membawa segenggam garam. Sesampainya di tepi telaga yang tenang itu, langsung saja Pak Haji menaburkan lagi segenggam garam yang ada
ditanganya itu ke tepi telaga.
Dengan sepotong kayu dia mengaduk telaga itu.
“Coba kamu ambil air di telaga ini, lalu minumlah!” kata Pak Haji. Setelah Andi meneguk air
yang diambilnya tadi, Pak Haji bertanya
lagi, “Bagaimana rasanya?”
“Sangat segar, Pak Haji.” kata Andi
dengan agak tersenyum.
“Apakah kamu merasakan garam pada air itu?” tanya Pak Haji lagi.
“Sama sekali tidak.” jawab Andi.
Kemudian Pak Haji berkata, “Andi, dengarlah, pahitnya kehidupan layaknya segenggam garam, tidak lebih dan tidak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu sama dan memang akan selalu sama. Tapi kepahitan yang kita rasakan akan sangat bergantung dari wadah yang kita miliki, kepahitan
itu akan didasarkan pada tempat kita meletakkan segalanya. Semua itu tergantung pada hati kita.”
Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam
hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan, lapangkanlah dadamu untuk
menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.
Ikuti sajalah permainan Allah yang sudah disiapkan oleh-Nya dengan ketabahanmu.
Allah pernah
berfirman:
“Dan
barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah dan dia berbuat kebaikan,
maka sungguh dia sudah berpegang kepada tali yang kokoh dan hanya kepada Allah
kesudahan segala urusan.” (QS. Luqman : 22)
Pada awal cerita kita dapat menyimpulkan, hati dan perasaan adalah wadah itu. Sebagai tempat menampung segala sesuatu seperti kesusahan, kesulitan, keterhimpitan, maupun musibah. karena ini hanya ujian atau cobaan
yang diberikan oleh Allah kepada kita. Jadi, jangan jadikan hati kita, perasaan
kita, seperti gelas. Buatlah laksana Telaga yang mampu meredam setiap kepahitan
dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.
Oleh
karena itu, bisa kita sebut orang yang menanggapi kepahitan dengan rasa amarah
atau ceroboh adalah orang yang kalah. Tentunya hal seperti ini tidak diberkahi oleh Allah. Sedangkan, bisa kita sebut orang yang mampu menaklukan kepahitan dengan kesabaran
dan senyuman serta mengubahnya menjadi kebahagian yang diberkahi,
inilah yang disebut pemenang. Itulah halnya perbedaan orang yang beriman dan
tidak beriman dalam menanggapi persoalan.
Memang
sangat berbeda, orang yang beriman tentu paham betul tentang
jalan yang disuguhkan oleh Allah untuk tetap tegar dalam menghadapi lika-liku
kehidupan. Ia tidak akan pernah putus asa apabila menjumpai tantangan maupun ujian dalam mencapai
kesuksesan. Ia akan sadar dan tawakkal kepada Allah. Ketika dalam ikhtiarnya ia selalu berada dalam kondisi
meminta dan keyakinan yang teguh, ia selalu mendekatkan diri kepada Allah
dengan rasa harap dan rasa takut. Artinya, segala apa yang diupayakan itu tetap
disandarkan hanya kepada Allah saja.
“Berdo’alah kepadanya dengan rasa takut dan penuh
harap.” (QS. Al-A’raf :
56)
Begitulah
karakter orang yang beriman, ketika mengharapkan
sesuatu, ia selalu yakin akan pertolongan Allah. Apa coba, yang tidak mungkin di
tangan Allah? Apabila dalam ikhtiar masih juga menemui kegagalan, ia tetap berbesar hati, bersabar, dan tidak begitu
kecewa. Karena ia sangat yakin akan ada hikmah di balik semuanya. Namun, jika ia benar-benar sukses, hatinya tidak pongah dan sikapnya
tidaklah sombong.
Kita
sebagai hamba Allah kita harus memiliki potensi yang kuat, sabar, ulet, dan
tidak putus asa dalam menghadapi cobaan ataupun rintangan. Karena, kita sudah
dibekali dengan
dua hal, yaitu Al-Quran dan Al-hadits untuk menjadi standar dalam
membimbing ikhtiar kita. Keyakinan
akan kuat apabila kita merasa bersama Allah, pertolongan begitu dekat dengan
kita.
Renungkanlah ayat ini:
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,
sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS.
Al-Insyirah : 5-6)
Ayat
tersebut sangatlah akrab terdengar oleh telinga kita, tapi mengapa kita tidak memunculkan keyakinan yang kuat akan
ayat ini? Punya masalah, diselesaikan dengan jalan yang
tidak diridhai oleh Allah. Bukankah
suatu ujian atau cobaan itu datangnya dari Yang Maha Kuasa? Pasti hanya Dialah yang kuasa untuk mengeluarkan
kita dari masalah tersebut. Yakin saja kepada Allah, karena itu merupakan
energi yang sangat dahsyat bagi langkah kita untuk memperoleh keberhasilan dan
kebahagiaan.
Tinggalkanlah
kebiasaan buruk kita. Apabila, menyelesaikan
masalah lari ke paranormal, lari ke dunia malam, dan
meminum minuman
yang beralkohol, dengan alasan untuk
meringankan masalah. Sungguh, ini tindakan yang sangat bodoh. Kemanakah Allah selama ini? Apakah kita sudah tidak membutuhkanya lagi?
Apakah kita sudah merasa kuat? Kalau kita pikir-pikir, mengapa pula kita meminta pertolongan kepada yang fakir (butuh manusia) juga? Jadi, apa artinya ‘Allah itu Maha Penolong’ bagi manusia? Itulah, banyak diantara kita itu yang tidak menyadari.
Kita kadang lupa atau tidak sadar atau barangkali sombong, sudah merasa diri
kita sudah paling hebat dan dipercaya oleh orang lain. Marilah kita jadikan Allah itu sebagai Maha Penolong segala hal, apapun
itu. Bagaimana caranya? Dengan ketaqwaan kita kepada Allah. Bukankah Allah pernah berfirman:
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan jalan
keluar baginya dan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya, sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang di
kehendaki-Nya, sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq : 2-3)
__________________________________________________
Tentang Penulis
Jefry
adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Ia lahir di kota Kisaran pada 6 maret
1993. Saat berusia tiga tahun, ia dibawa hijrah dari kota kelahirannya ke kota Duri, Riau. Saat ini penulis tengah menempuh pendidikan di kota
pelajar, Yogyakarta. Pemuda yang berstudi di Teknik Kimia Universitas Islam Indonesia (UII) ini
masih tercatat aktif dalam mengikuti organisasi Lembaga Dakwah Kampus. Ia mulai
menulis sejak menamatkan pendidikan SMA, berharap mampu memberikan manfaat untuk orang lain
dari tulisannya.
0 komentar:
Post a Comment